📓KOIN PENYOK 📒
Seorang lelaki berjalan tak tentu arah dengan rasa putus asa. Kondisi finansial keluarganya morat-marit. Saat menyusuri jalanan sepi, kakinya terantuk sesuatu.
Ia membungkuk & menggerutu kecewa. "Uh, hanya sebuah koin kuno yang sudah penyok."
Meskipun begitu ia membawa koin itu ke bank. "Sebaiknya koin in dibawa ke kolektor uang kuno", kata teller itu memberi saran. Lelaki itu membawa koinnya ke kolektor. Beruntung sekali, koinnya dihargai 30 dollar.
Lelaki itu begitu senang. Saat lewat toko perkakas, dilihatnya beberapa lembar kayu obral. Dia pun membeli kayu seharga 30 dollar untuk membuat rak buat istrinya. Dia memanggul kayu tersebut dan beranjak pulang.
Di tengah perjalanan dia melewati bengkel pembuat mebel. Mata pemilik bengkel sudah terlatih melihat kayu bermutu yang dipanggul lelaki itu. Dia menawarkan lemari 100 dollar untuk menukar kayu itu. Setelah setuju, dia meminjam gerobak untuk membawa pulang lemari itu.
Dalam perjalanan dia melewati perumahan. Seorang wanita melihat lemari yang indah itu & menawarnya 200 dollar. Lelaki itu ragu-ragu. Si wanita menaikkan tawarannya menjadi 250 dollar. Lelaki itupun setuju.
Saat sampai di pintu desa, dia ingin memastikan uangnya. Ia merogoh sakunya dan menghitung lembaran bernilai 250 dollar.
Tiba-tiba seorang perampok datang, mengacungkan belati, merampas uang itu, lalu kabur.
Istrinya kebetulan melihat dan berlari mendekati suaminya dan bertanya,
"Apa yang terjadi?
Engkau baik-baik saja kan?
Apa yang diambil perampok tadi?"
Lelaki itu mengangkat bahunya dan berkata, "Oh, bukan apa-apa. Hanya sebuah koin penyok yang kutemukan tadi pagi".
Bila kita sadar kita tak pernah memiliki apapun, kenapa harus tenggelam dalam kepedihan yang berlebihan?
Sebaliknya, sepatutnya kita bersyukur atas segala yang telah kita miliki, karena ketika datang & pergi kita tidak membawa apa-apa.
Menderita karena melekat. Bahagia karena melepas.
Karena demikianlah hakikat sejatinya kehidupan, apa yang sebenarnya yang kita punya dalam hidup ini?
Tidak ada, karena bahkan napas kita saja bukan kepunyaan kita dan tidak bisa kita genggam selamanya.
Hidup itu perubahan dan pasti akan berubah.
Saat kehilangan sesuatu kembalilah ingat bahwa sesungguhnya kita tidak punya apa-apa jadi "kehilangan" itu tidaklah nyata dan tidak akan pernah menyakitkan Kehilangan hanya sebuah tipuan pikiran yang penuh dengan ke"aku"an. Ke"aku"an lah yang membuat kita menderita.
Rumahku, hartaku, istriku, anakku. Lahir tidak membawa apa-apa, meninggal pun sendiri, tidak ajak apa-apa dan siapa-siapa.
Pada waktunya "let it go", siapapun yang bisa melepas, tidak melekat, tidak menggenggam erat maka dia akan bahagia.
Semoga bermanfaat ☺
Monday, February 23, 2015
Sunday, February 22, 2015
BUDAYA MENGHUKUM DAN MENGHAKIMI PARA PENDIDIK DI INDONESIA
Ditulis oleh: Prof. Rhenald Kasali (Guru Besar FE UI)
LIMA belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah
tempat anak saya belajar di Amerika Serikat. Masalahnya, karangan berbahasa
Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah diberi nilai E
(excellence) yang artinya sempurna, hebat, bagus sekali. Padahal dia baru
saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa.
. Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada
saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya
tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana. Saya memintanya memperbaiki
kembali, sampai dia menyerah.
Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan
diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai?
Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah
diberinilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri.
Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat.
"Maaf Bapak dari mana?"
"Dari Indonesia," jawab saya.
Dia pun tersenyum.
BUDAYA MENGHUKUM
Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya.
Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat.
"Saya mengerti," jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap
simpatik itu. "Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anak
anaknya dididik di sini," lanjutnya. "Di negeri Anda, guru sangat sulit
memberi nilai. Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum,
melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement! " Dia pun
melanjutkan argumentasinya.
"Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda-beda. Namun untuk anak
sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris,
saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat," ujarnya menunjuk karangan
berbahasa Inggris yang dibuat anak saya.
Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur
prestasi orang lain menurut ukuran kita.
Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang bergelimang
nilai "A", dari program master hingga doktor.
Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik
ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam. Saat ujian
program doktor saya pun dapat melewatinya dengan mudah.
Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar
siap. Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya
dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan
jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka menunjukkan grafik-grafik yang
saya buat dan menerangkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti.
Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan
kekurangan penuh keterbukaan.
Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan.
Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut "menelan" mahasiswanya yang
duduk di bangku ujian.
***
Etika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan,
penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap
seakan-akan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Saya sempat mengalami
frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang
maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi.
Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya pun
bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak
hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga
menguji dengan cara menekan. Ada semacam balas dendam dan kecurigaan.
Saya ingat betul bagaimana guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya.
Saya berpikir pantaslah anak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya
ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel. Bukan karena mereka punya
guru yang pintar secara akademis, melainkan karakternya sangat kuat:
karakter yang membangun, bukan merusak.
Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya.
"Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang
sudah jauh di depan," ujarnya dengan penuh kesungguhan.
Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam
bentuk verbal.
Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun
rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang
mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut. "Sarah telah
memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah
telah menunjukkan kemajuan yang berarti."
Malam itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup
keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah memberi
penilaian yang tidak objektif.
Dia pernah protes saat menerima nilai E yang berarti excellent (sempurna),
tetapi saya mengatakan "gurunya salah". Kini saya melihatnya dengan kacamata
yang berbeda.
MELAHIRKAN KEHEBATAN
Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatan
dan rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh
sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur,
dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru, sundutan rokok, dan
seterusnya.
Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas.; Kalau,.;
Nanti,.; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian
dan rapor di sekolah.
Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi
lebih disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan inisiatif dan
mengendurkan semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata
menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil)
atau sebaliknya, dapat tumbuh.
Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang
didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan manusia
dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang sering saya katakan,
ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh.
Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh.
Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan
ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan
menghina atau memberi ancaman yang menakutkan
Ditulis oleh: Prof. Rhenald Kasali (Guru Besar FE UI)
LIMA belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah
tempat anak saya belajar di Amerika Serikat. Masalahnya, karangan berbahasa
Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah diberi nilai E
(excellence) yang artinya sempurna, hebat, bagus sekali. Padahal dia baru
saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa.
. Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada
saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya
tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana. Saya memintanya memperbaiki
kembali, sampai dia menyerah.
Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan
diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai?
Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah
diberinilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri.
Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat.
"Maaf Bapak dari mana?"
"Dari Indonesia," jawab saya.
Dia pun tersenyum.
BUDAYA MENGHUKUM
Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya.
Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat.
"Saya mengerti," jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap
simpatik itu. "Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anak
anaknya dididik di sini," lanjutnya. "Di negeri Anda, guru sangat sulit
memberi nilai. Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum,
melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement! " Dia pun
melanjutkan argumentasinya.
"Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda-beda. Namun untuk anak
sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris,
saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat," ujarnya menunjuk karangan
berbahasa Inggris yang dibuat anak saya.
Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur
prestasi orang lain menurut ukuran kita.
Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang bergelimang
nilai "A", dari program master hingga doktor.
Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik
ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam. Saat ujian
program doktor saya pun dapat melewatinya dengan mudah.
Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar
siap. Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya
dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan
jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka menunjukkan grafik-grafik yang
saya buat dan menerangkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti.
Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan
kekurangan penuh keterbukaan.
Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan.
Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut "menelan" mahasiswanya yang
duduk di bangku ujian.
***
Etika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan,
penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap
seakan-akan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Saya sempat mengalami
frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang
maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi.
Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya pun
bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak
hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga
menguji dengan cara menekan. Ada semacam balas dendam dan kecurigaan.
Saya ingat betul bagaimana guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya.
Saya berpikir pantaslah anak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya
ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel. Bukan karena mereka punya
guru yang pintar secara akademis, melainkan karakternya sangat kuat:
karakter yang membangun, bukan merusak.
Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya.
"Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang
sudah jauh di depan," ujarnya dengan penuh kesungguhan.
Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam
bentuk verbal.
Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun
rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang
mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut. "Sarah telah
memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah
telah menunjukkan kemajuan yang berarti."
Malam itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup
keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah memberi
penilaian yang tidak objektif.
Dia pernah protes saat menerima nilai E yang berarti excellent (sempurna),
tetapi saya mengatakan "gurunya salah". Kini saya melihatnya dengan kacamata
yang berbeda.
MELAHIRKAN KEHEBATAN
Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatan
dan rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh
sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur,
dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru, sundutan rokok, dan
seterusnya.
Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas.; Kalau,.;
Nanti,.; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian
dan rapor di sekolah.
Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi
lebih disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan inisiatif dan
mengendurkan semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata
menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil)
atau sebaliknya, dapat tumbuh.
Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang
didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan manusia
dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang sering saya katakan,
ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh.
Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh.
Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan
ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan
menghina atau memberi ancaman yang menakutkan
Monday, February 16, 2015
APA ITU " BAROKAH" ?
Barokah adalah kata yg diinginkan oleh hampir semua hamba yg beriman, karenanya orang akan mendapat limpahan kebaikan dalam hidup.
Barokah bukanlah cukup & mencukupi saja, tapi barokah ialah ketaatanmu kepada الله dg segala keadaan yg ada, baik berlimpah atau sebaliknya.
Barokah itu: "albarokatu tuziidukum fi thoah" ~ barokah menambah taatmu kepada الله.
Hidup yg barokah bukan hanya sehat, tapi kadang sakit itu justru barokah sebagaimana Nabi Ayyub عليه السلام, sakitnya menambah taatnya kepada الله.
Barokah itu tak selalu panjang umur, ada yg umurnya pendek tapi dahsyat taatnya layaknya Musab ibn Umair.
Tanah yg barokah itu bukan karena subur & panoramanya indah, karena tanah yg tandus seperti Makkah punya keutamaan di hadapan الله tiada yg menandingi.
Makanan barokah itu bukan yg komposisi gizinya lengkap, tapi makanan itu mampu mendorong pemakannya menjadi lebih taat setelah makan.
Ilmu yg barokah itu bukan yg banyak riwayat & catatan kakinya, tapi yg barokah ialah yg mampu menjadikan seorang meneteskan keringat & darahnya dalam beramal & berjuang untuk agama الله.
Penghasilan barokah juga bukan gaji yg besar & bertambah, tapi sejauh mana ia bisa jadi jalan rizqi bagi yg lainnya & semakin banyak orang yg terbantu dg penghasilan tersebut.
Anak² yg barokah bukanlah saat kecil mereka lucu & imut atau setelah dewasa mereka sukses bergelar & mempunyai pekerjaan & jabatan hebat, tapi anak yg barokah ialah yg senantiasa taat kepada Rabb-Nya & kelak di antara mereka ada yg lebih shalih & tak henti²nya mendo'akan kedua Orang tuanya.
Semoga segala aktifitas kita hari ini barokah
بَارَكَ اللهُ فِيْك
Barokah adalah kata yg diinginkan oleh hampir semua hamba yg beriman, karenanya orang akan mendapat limpahan kebaikan dalam hidup.
Barokah bukanlah cukup & mencukupi saja, tapi barokah ialah ketaatanmu kepada الله dg segala keadaan yg ada, baik berlimpah atau sebaliknya.
Barokah itu: "albarokatu tuziidukum fi thoah" ~ barokah menambah taatmu kepada الله.
Hidup yg barokah bukan hanya sehat, tapi kadang sakit itu justru barokah sebagaimana Nabi Ayyub عليه السلام, sakitnya menambah taatnya kepada الله.
Barokah itu tak selalu panjang umur, ada yg umurnya pendek tapi dahsyat taatnya layaknya Musab ibn Umair.
Tanah yg barokah itu bukan karena subur & panoramanya indah, karena tanah yg tandus seperti Makkah punya keutamaan di hadapan الله tiada yg menandingi.
Makanan barokah itu bukan yg komposisi gizinya lengkap, tapi makanan itu mampu mendorong pemakannya menjadi lebih taat setelah makan.
Ilmu yg barokah itu bukan yg banyak riwayat & catatan kakinya, tapi yg barokah ialah yg mampu menjadikan seorang meneteskan keringat & darahnya dalam beramal & berjuang untuk agama الله.
Penghasilan barokah juga bukan gaji yg besar & bertambah, tapi sejauh mana ia bisa jadi jalan rizqi bagi yg lainnya & semakin banyak orang yg terbantu dg penghasilan tersebut.
Anak² yg barokah bukanlah saat kecil mereka lucu & imut atau setelah dewasa mereka sukses bergelar & mempunyai pekerjaan & jabatan hebat, tapi anak yg barokah ialah yg senantiasa taat kepada Rabb-Nya & kelak di antara mereka ada yg lebih shalih & tak henti²nya mendo'akan kedua Orang tuanya.
Semoga segala aktifitas kita hari ini barokah
بَارَكَ اللهُ فِيْك
Tuesday, February 10, 2015
Jalan DAKWAH masa kini
Sudah lelahkah wahai kawan atas perjuangan dakwah ini..?
Hmmm, mungkin jadwal dakwah yang padat itu membuatmu lemah?
Atau tak pernah punya waktu istirahat di akhir pekan yang kau gusarkan, karena harus terus BERGERAK berdakwah?
Atau pusingnya fikiranmu mempersiapkan acara2 dakwah yang membuatmu ingin terpejam?
Atau panasnya aspal jalanan saat kau melakukan aksi yang ingin membuatmu “rehat sejenak”?
Atau sulitnya mencari orang yang ingin kau ajak HIJRAH ini yang kau risaukan?
Atau karena seringnya kehidupan sekitar kita meminta infak2mu yang membuatmu ingin menjauh?
Dakwah kita hari ini hanya sebatas ‘itu’ saja kawan.
Hehe bukan ingin melemahkan tapi izinkan saya showing kali ini….
🔥Tahukah kau wahai kawan Umar bin Abdul Azis?? Tubuhnya hancur dalam rangka 2 tahun masa memimpinnya...
2 tahun kawan, cuma 2 tahun memimpin tubuhnya yang perkasa bisa rontok,
kemudian sakit lalu syahid...
Sulit membayangkan sekeras apa sang khalifah bekerja…tapi salah satu pencapainya adalah;
saat itu umat kebingungan siapa yang harus diberi zakat…
tak ada lagi orang miskin yang layak diberi infaq…
Memang seperti itu dakwah. Dakwah adalah cinta.
Dan cinta akan meminta semuanya dari dirimu. Sampai pikiranmu.
Sampai perhatianmu.
Berjalan, duduk, dan tidurmu.
🔥Tapi Syekh Musthafa Masyhur mengatakan “jalan dakwah ini adalah jalan yang panjang tapi adalah jalan yang paling aman untuk mencapai ridho-Nya.”
Ya kawan, jalan ini yang akan menuntun kita kepada ridho-Nya…
saat Allah ridho..
maka apalagi yang kita risaukan?
Saat Allah ridho…semuanya akan jauh lebih indah…karena surga akan mudah kita rasa..., insyaAllah.
🔎Rasulullah begitu berat dakwahnya..
harus bertentangan dengan banyak kabilah dari keluarga besarnya..
🔎Mush'ab bin Umair harus rela meninggalkan ibunya...
🔎Salman harus rela meninggalkan seluruh yang dia kumpulkan di Mekkah untuk hijrah…
🔎Asma' binti Abu Bakar rela menaiki tebing yang terjal dalam kondisi hamil untuk mengantarkan makanan kepada ayahnya dan Rasulullah
🔎Hanzholah segera menyambut seruan jihad saat bermalam pertama dengan istrinya,
🔎Ka'ab bin Malik menolak dengan tegas suaka Raja Ghassan saat ia dikucilkan…
🔎Bilal, Ammar, keluarga Yasir..mereka kenyang dengan siksaan dari para kafir,
🔎Abu Dzar habis dipukuli karena meneriakkan kalimat tauhid di pasar,
🔎Ali mampu berlari 400 KM guna berhijrah di gurun hanya sendirian,
🔎Usman rela menginfakkan 1000 unta penuh makanan untuk perang Tabuk,
🔎Abu Bakar hanya meninggalkan Allah dan Rasul-Nya untuk keluarganya…
🔎Umar nekat berhijrah secara terang terangan, 🔎Huzaifah berani mengambil tantangan untuk menjadi intel di kandang musuh,
🔎Thalhah siap menjadi pagar hidup Rasul di Uhud, hingga 70 tombak mengenai tubuhnya,
🔎Zubair bin Awwan adalah hawariinya rasul,
🔎Al Khansa' merelakan anak2nya yang masih kecil untuk berjihad,
🔎Nusaibah yang walaupun dia wanita tapi tak takut turun ke medan perang,
🔎Khadijah sang cintanya rasul siap memberikan seluruh harta dan jiwanya untuk islam, siap menenangkan sang suami di kala susah..benar2 istri shalihah ^_^
Atau mari kita bicara tentang 📌Musa…mulutnya gagap tapi dakwahnya tak pernah pudar…ummatnya seburuk-buruknya ummat, tapi proses menyeru tak pernah berhenti…
📌atau Nuh, 900 tahun menyeru hanya mendapat pengikut beberapa orang saja..bahkan anaknya tak mengimaninya…
📌Ibrahim yang dibakar Namrud, Syu’aib yang menderita sakit berkepanjangan tapi tetap menyeru…
📌Ismail yang rela disembelih ayahnya karena ini perintah Allah…
Deretan sejarah di atas adalah SEBAIK-BAIKnya guru dalam kehidupan kita...
Sekarang beranikah kita masih menyombongkan diri bersama jalan dakwah yang kita lakukan saat ini,
mengatakan lelah padahal belum banyak melakukan apa apa…bahkan terkadang… kita datang menyeru dengan keterpaksaan, berat hati kita, terkadang menolak amanah (untuk menjadi TELADAN)
Kawan… dakwah kita hari ini hanya sebatas “itu2” saja,
he he bukan untuk melemahkan…
tapi menguatkan karena ternyata yang kita lakukan belum apa apa….
Hidupku adalah hari ini, bukan hari kemarin ataupun esok.. aku akan BERBUAT SEMAKSIMAL mungkin dalam aktivitasku demi mencapai keridhoan Allah SWT...
Suksesku semata kupersembahkan untuk KEJAYAAN ISLAM yg sangat kucintai.
📝Renungan bagi diriku,
Semoga bermanfaat juga untukmu kawan...
Barakallahu fiikum
Edited by Rico
Sudah lelahkah wahai kawan atas perjuangan dakwah ini..?
Hmmm, mungkin jadwal dakwah yang padat itu membuatmu lemah?
Atau tak pernah punya waktu istirahat di akhir pekan yang kau gusarkan, karena harus terus BERGERAK berdakwah?
Atau pusingnya fikiranmu mempersiapkan acara2 dakwah yang membuatmu ingin terpejam?
Atau panasnya aspal jalanan saat kau melakukan aksi yang ingin membuatmu “rehat sejenak”?
Atau sulitnya mencari orang yang ingin kau ajak HIJRAH ini yang kau risaukan?
Atau karena seringnya kehidupan sekitar kita meminta infak2mu yang membuatmu ingin menjauh?
Dakwah kita hari ini hanya sebatas ‘itu’ saja kawan.
Hehe bukan ingin melemahkan tapi izinkan saya showing kali ini….
🔥Tahukah kau wahai kawan Umar bin Abdul Azis?? Tubuhnya hancur dalam rangka 2 tahun masa memimpinnya...
2 tahun kawan, cuma 2 tahun memimpin tubuhnya yang perkasa bisa rontok,
kemudian sakit lalu syahid...
Sulit membayangkan sekeras apa sang khalifah bekerja…tapi salah satu pencapainya adalah;
saat itu umat kebingungan siapa yang harus diberi zakat…
tak ada lagi orang miskin yang layak diberi infaq…
Memang seperti itu dakwah. Dakwah adalah cinta.
Dan cinta akan meminta semuanya dari dirimu. Sampai pikiranmu.
Sampai perhatianmu.
Berjalan, duduk, dan tidurmu.
🔥Tapi Syekh Musthafa Masyhur mengatakan “jalan dakwah ini adalah jalan yang panjang tapi adalah jalan yang paling aman untuk mencapai ridho-Nya.”
Ya kawan, jalan ini yang akan menuntun kita kepada ridho-Nya…
saat Allah ridho..
maka apalagi yang kita risaukan?
Saat Allah ridho…semuanya akan jauh lebih indah…karena surga akan mudah kita rasa..., insyaAllah.
🔎Rasulullah begitu berat dakwahnya..
harus bertentangan dengan banyak kabilah dari keluarga besarnya..
🔎Mush'ab bin Umair harus rela meninggalkan ibunya...
🔎Salman harus rela meninggalkan seluruh yang dia kumpulkan di Mekkah untuk hijrah…
🔎Asma' binti Abu Bakar rela menaiki tebing yang terjal dalam kondisi hamil untuk mengantarkan makanan kepada ayahnya dan Rasulullah
🔎Hanzholah segera menyambut seruan jihad saat bermalam pertama dengan istrinya,
🔎Ka'ab bin Malik menolak dengan tegas suaka Raja Ghassan saat ia dikucilkan…
🔎Bilal, Ammar, keluarga Yasir..mereka kenyang dengan siksaan dari para kafir,
🔎Abu Dzar habis dipukuli karena meneriakkan kalimat tauhid di pasar,
🔎Ali mampu berlari 400 KM guna berhijrah di gurun hanya sendirian,
🔎Usman rela menginfakkan 1000 unta penuh makanan untuk perang Tabuk,
🔎Abu Bakar hanya meninggalkan Allah dan Rasul-Nya untuk keluarganya…
🔎Umar nekat berhijrah secara terang terangan, 🔎Huzaifah berani mengambil tantangan untuk menjadi intel di kandang musuh,
🔎Thalhah siap menjadi pagar hidup Rasul di Uhud, hingga 70 tombak mengenai tubuhnya,
🔎Zubair bin Awwan adalah hawariinya rasul,
🔎Al Khansa' merelakan anak2nya yang masih kecil untuk berjihad,
🔎Nusaibah yang walaupun dia wanita tapi tak takut turun ke medan perang,
🔎Khadijah sang cintanya rasul siap memberikan seluruh harta dan jiwanya untuk islam, siap menenangkan sang suami di kala susah..benar2 istri shalihah ^_^
Atau mari kita bicara tentang 📌Musa…mulutnya gagap tapi dakwahnya tak pernah pudar…ummatnya seburuk-buruknya ummat, tapi proses menyeru tak pernah berhenti…
📌atau Nuh, 900 tahun menyeru hanya mendapat pengikut beberapa orang saja..bahkan anaknya tak mengimaninya…
📌Ibrahim yang dibakar Namrud, Syu’aib yang menderita sakit berkepanjangan tapi tetap menyeru…
📌Ismail yang rela disembelih ayahnya karena ini perintah Allah…
Deretan sejarah di atas adalah SEBAIK-BAIKnya guru dalam kehidupan kita...
Sekarang beranikah kita masih menyombongkan diri bersama jalan dakwah yang kita lakukan saat ini,
mengatakan lelah padahal belum banyak melakukan apa apa…bahkan terkadang… kita datang menyeru dengan keterpaksaan, berat hati kita, terkadang menolak amanah (untuk menjadi TELADAN)
Kawan… dakwah kita hari ini hanya sebatas “itu2” saja,
he he bukan untuk melemahkan…
tapi menguatkan karena ternyata yang kita lakukan belum apa apa….
Hidupku adalah hari ini, bukan hari kemarin ataupun esok.. aku akan BERBUAT SEMAKSIMAL mungkin dalam aktivitasku demi mencapai keridhoan Allah SWT...
Suksesku semata kupersembahkan untuk KEJAYAAN ISLAM yg sangat kucintai.
📝Renungan bagi diriku,
Semoga bermanfaat juga untukmu kawan...
Barakallahu fiikum
Edited by Rico
Subscribe to:
Posts (Atom)