Friday, November 27, 2015

SEKOLAH 'KNOWING' vs SEKOLAH 'BEING'.

Suatu hari sy kedatangan seorang tamu dr Eropa. Sy menawarkan kepadanya melihat2 objek wisata kota Jakarta.

Pada saat kami ingin menyeberang jalan, teman sy ini selalu berusaha utk mencari zebra cross. Berbeda dgn sy dan org Jakarta yg lain, dgn mudah menyeberang dimana saja sesukanya.

Teman sy tetap tdk terpengaruh oleh situasi. Dia terus mencari zebra cross setiap kali akan menyeberang. Padahal di Indonesia tidak setiap jalan dilengkapi dgn zebra cross.

Yg lbh memalukan, meskipun sdh ada zebra cross tetap saja para pengemudi tancap gas, tidak mau mengurangi kecepatan guna memberi kesempatan pada para penyeberang. Teman sy geleng2 kepala mengetahui perilaku masyarakat kita.

Akhirnya sy coba menanyakan pandangan teman sy ini mengenai fenomena menyeberang jalan tadi.

Sy bertanya mengapa orang2 di negara kami menyeberang tidak pada tempatnya, meskipun mereka tahu bahwa zebra cross itu adalah utk menyeberang jalan. Sementara dia selalu konsisten mencari zebra cross meskipun tidak semua jalan di negara kami dilengkapi dgn zebra cross.

Pelan2 dia menjawab pertanyaan saya, "It's all happened because of The Education System."

Wah, bukan main kagetnya sy mendengar jawaban teman sy. Apa hubungan menyeberang jalan sembarangan dgn sistem pendidikan?

Dia melanjutkan penjelasannya,
"Di dunia ini ada 2 jenis sistem pendidikan, yang pertama adalah sistem pendidikan yg hanya menjadikan anak2 kita menjadi makhluk 'Knowing' atau sekedar tahu saja, sedangkan yg kedua sistem pendidikan yg mencetak anak2 menjadi makhluk 'Being'.

Apa maksudnya?

Maksudnya, sekolah hanya bisa mengajarkan banyak hal utk diketahui para siswa. Sekolah tidak mampu membuat siswa mau melakukan apa yg diketahui sebagai bagian dr kehidupannya.

Anak2 tumbuh hanya menjadi 'Makhluk Knowing', hanya sekedar 'mengetahui' bahwa:
- zebra cross adalah tempat menyeberang,
- tempat sampah adalah utk menaruh sampah.

Tapi mereka tetap menyeberang dan membuang sampah sembarangan.

Sekolah semacam ini biasanya mengajarkan banyak sekali mata pelajaran. Tak jarang membuat para siswanya stress, pressure & akhirnya mogok sekolah. Segala macam diajarkan dan banyak hal yg diujikan,
tetapi tak satupun dr siswa yang menerapkannya setelah ujian. Ujiannya pun hanya sekedar tahu, 'Knowing'.

Di negara kami, sistem pendidikan benar2 diarahkan utk mencetak manusia2 yg 'tidak hanya TAHU apa yg benar tetapi MAU melakukan apa yg benar sebagai bagian dr kehidupannya'.

Di negara kami, anak2 hanya diajarkan 3 mata pelajaran pokok:
1. Basic Sains.
2. Basic Art.
3. Social.

Dikembangkan melalui praktek langsung dan studi kasus dan dibandingkan dgn kejadian nyata di seputar kehidupan mereka.

Mereka tidak hanya TAHU, mereka juga MAU menerapkan ilmu yg diketahui dlm keseharian hidupnya. Anak2 ini jg tahu persis alasan mengapa mereka mau atau tidak mau melakukan sesuatu.

Cara ini mulai diajarkan pada anak sejak usia mereka masih sangat dini agar terbentuk sebuah kebiasaan yg kelak akan membentuk mereka menjadi mahluk 'Being', yakni manusia2 yg melakukan apa yg mereka tahu benar."

Wow!

Betapa sekolah begitu memegang peran yg sangat penting bagi pembentukan perilaku & mental anak2 bangsa.

Betapa sebenarnya sekolah tidak hanya berfungsi sebagai lembaga sertifikasi yg hanya mampu memberi ijazah para anak bangsa.

Kita mestinya lebih mengarahkan pendidikan utk mencetak generasi yg tidak hanya sekedar TAHU tentang hal2 yg benar, tp jauh lebih penting utk mencetak anak2 yg MAU melakukan apa2 yg mereka ketahui itu benar, mencetak manusia2 yg 'Being'.

Apakah tempat anak2 kita bersekolah telah menerapkan sistem pendidikan & kurikulum yg akan menjadikan anak2 kita utk menjadi makhluk 'Being' atau hanya sekedar 'Knowing'?

'Mengetahui Yang Benar' tetapi 'Tidak Pernah Melakukan Dengan Benar' sama dengan 'Tidak Mengetahui'.

Semangat ya all πŸ’

Wednesday, November 25, 2015

Hati Yang Jauh...

Seorang Syeikh berjalan dengan para muridnya, mereka  melihat ada sebuah keluarga yang sedang bertengkar, dan saling berteriak.

Syeikh tersebut berpaling kepada muridnya dan bertanya : 'Mengapa orang saling berteriak jika mereka sedang marah?'

Salah satu murid menjawab : 'Karena kehilangan sabar, makanya mereka  berteriak'

'Tetapi , mengapa harus berteriak kepada orang yang tepat berada di depannya?'
'Bukankah pesan yang ia sampaikan , bisa ia ucapkan dengan cara halus ?' Tanya sang Syeikh menguji muridnya.

Muridnya pun saling beradu jawaban, namun tidak satupun jawaban yang mereka sepakati.

Akhirnya sang Syeikh  berkata : 'Bila dua orang sedang marah, maka hati mereka saling menjauh. Untuk dapat menempuh jarak yang jauh itu, mereka harus berteriak agar perkataannya dapat terdengar. Semakin marah, maka akan semakin keras teriakannya.  Karena jarak kedua hati semakin jauh'

'Begitu juga sebaliknya , di saat kedua insan saling jatuh cinta?' lanjut sang Syeikh.

'Mereka tidak saling berteriak antara yang satu dengan yang  lain. Mereka berbicara lembut karena hati mereka berdekatan. Jarak antara ke 2 hati sangat dekat'

'Bila mereka semakin lagi saling mencintai, apa yang terjadi?' Mereka tidak lagi bicara. Mereka Hanya berbisik dan saling mendekat dalam kasih-sayang. Pada Akhirnya , mereka bahkan tidak perlu lagi berbisik. Mereka cukup hanya dengan saling memandang. Itu saja. Sedekat itulah dua insan yang saling mengasihi'

Sang Syeikh memandangi muridnya dan mengingatkan dengan lembut : 'Jika terjadi pertengkaran diantara kalian, jangan biarkan hati kalian menjauh'

'Jangan ucapkan perkataan yang membuat hati kian menjauh. Karena jika kita biarkan, suatu hari jaraknya tidak akan lagi bisa ditempuh'

Rasa syukur dan ucapan terima kasih seorang murid kepada gurunya


Pak Hamid duduk termangu. Dipandanginya benda-benda yang berjajar di depannya dengan masygul.
 Bertahun-tahun dimilikinya dengan penuh kebanggaan. Dirawat dengan baik hingga selalu bersih dan mengkilap.
Jika ada orang yang bertanya, Pak Hamid akan bercerita dengan penuh kebanggaan.

Siapa yang tidak bangga memiliki benda-benda itu?
 Berbagai plakat penghar gaan yang diterimanya selama 35 tahun pengabdiannya sebagai guru di daerah terpencil.
Daerah terisolasi yang tidak diminati oleh guru-guru yang lain.
Namun Pak Hamid ikhlas menjalaninya, walau dengan gaji yang tersendat dan minimnya fasilitas sekolah.
Cinta Pak Hamid pada anak-anak kecil yang bertelanjang kaki dan rela berjalan jauh untuk mencari ilmu, mampu menutup keinginannya untuk pindah ke daerah lain yang lebih nyaman.

Kini masa itu sudah lewat.
Masa pengabdiannya usai sudah pada usianya yang keenam puluh.
Meskipun berat hati, Pak Hamid harus meninggalkan desa itu beserta keluarganya. Mereka tinggal di rumah peninggalan mertuanya di pinggir kota.
 Jauh dari anak didik yang dicintainya, jauh dari jalan tanah, sejuknya udara dan beningnya air yang selama ini menjadi nafas hidupnya.

“Hei, jualan jangan sambil melamun!” teriak pedagang kaos kaki di sebelahnya. Pak Hamid tergagap.
“Tawarkan jualanmu itu pada orang yang lewat.
Kalau kamu diam saja, sampek elek ra bakalan payu!” (sampai butut gak akan laku) kata pedagang akik di sebelahnya.

“Jualanmu itu menurutku agak aneh,” ujar pedagang kaos kaki lagi. “Apa ada yang mau beli barang-barang seperti itu ?
 Mungkin kamu mesti berjualan di tempat barang antik.
Bukan di kaki lima seperti ini”.

Pak Hamid tak menjawab.
 Itu pula yang sedang dipikirkannya.
Siapa yang tertarik untuk membeli plakat-plakat itu?
 Bukanlah benda-benda itu tidak ada gunanya bagi orang lain, sekalipun sangat berarti baginya ?

“Sebenarnya kenapa sampai kau jual tanda penghargaan itu ?” tanya pedagang akik.“Saya butuh uang.”
“Apa isteri atau anakmu sedang sakit ?”

“Tidak. Anak bungsuku hendak masuk SMU. Saya butuh uang untuk membayar uang pangkalnya.”
“Kenapa tidak ngutang dulu. Siapa tahu ada yang bisa membantumu.”“Sudah. Sudah kucoba kesana-kemari, namun tak kuperoleh juga.”
“Hei, bukankah kau punya gaji...eh... pensiun maksudku.”

“Habis buat nyicil motor untuk ngojek si sulung dan buat makan sehari-hari.”

Penjual akik terdiam. Mungkin merasa maklum, sesama orang kecil yang mencoba bertahan hidup di kota dengan berjualan di kaki lima .

“Kau yakin jualanmu itu akan laku?”penjual kaos kaki bertanya lagi setelah beberapa saat. Matanya menyiratkan iba.

“Insya Allah. Jika Allah menghendaki aku memperoleh rejeki, maka tak ada yang dapat menghalanginya.”

Siang yang panas. Terik matahari tidak mengurangi hilir mudik orang-orang yang berjalan di kaki lima itu. Beberapa orang berhenti, melihat-lihat akik dan satu dua orang membelinya. Penjual akik begitu bersemangat merayu pembeli. Rejeki tampaknya lebih berpihak pada penjual kaos kaki. Lebih dari dua puluh pasang kaos kaki terjual. Sedangkan jualan Pak Hamid, tak satupun yang meliriknya.

Keringat membasahi tubuh Pak Hamid yang mulai renta dimakan usia. Sekali lagi dipandanginya plakat-plakat itu. Kegetiran membuncah dalam dadanya. Berbagai penghargaan itu ternyata tak menghidupinya. Penghargaan itu hanya sebatas penghargaan sesaat yang kini hanya tinggal sebuah benda tak berharga.

Sebuah ironi yang sangat pedih. Tak terbayangkan sebelumnya. Predikatnya sebagai guru teladan bertahun yang lalu, tak sanggup menghantarkan anaknya memasuki sekolah SMU. Sekolah untuk menghantarkan anaknya menggapai cita-cita, yang dulu selalu dipompakan ke anak-anak didiknya.

Saat kegetiran dan keputusasaan masih meliputinya, Pak Hamid dikejutkan oleh sebuah suara.
“Bapak hendak menjual plakat-plakat ini?” seorang lelaki muda perlente berjongkok sambil mengamati jualan Pak Hamid. Melihat baju yang dikenakannnya dan mobil mewah yang ditumpanginya dengan supirnya, ia sepertinya lelaki berduit yang kaya raya.

Pak Hamid tiba-tiba berharap.
“Ya...ya..saya memang menjual plakat-plakat ini,” jawab Pak Hamid gugup.

“Berapa bapak jual setiap satuannya?”
Pak Hamid berfikir,”Berapa ya? Bodoh benar aku ini. Dari tadi belum terpikirkan olehku harganya.”
“Berapa, Pak?”

“Eee...tiga ratus ribu.”

“Jadi semuanya satu juta lima ratus. Boleh saya beli semuanya ?”

Hah?? Dibeli semua, tanpa ditawar lagi! Kenapa tidak kutawarkan dengan harga yang lebih tinggi? Pikir Pak Hamid sedikit menyesal. Tapi ia segera menepis sesalnya. Sudahlah, sudah untung bisa laku.

“Apa bapak punya yang lain. Tanda penghargaan yang lain misalnya ...”

Tanda penghargaan yang lain? Pak Hamid buru-buru mengeluarkan beberapa piagam dari tasnya yang lusuh. Piagam sebagai peserta penataran P4 terbaik, piagam guru matematika terbaik se kabupaten, bahkan piagam sebagai peserta Jambore dan lain-lain piagam yang sebenarnya tidak begitu berarti. Semuanya ada sepuluh buah.

“Bapak kasih harga berapa satu buahnya ?”

“Dua ratus ribu.” Hanya itu yang terlintas di kepalanya.

“Baik. Jadi semuanya seharga tiga juta lima ratus ribu. Bapak tunggu sebentar, saya akan ambil uang di bank sana itu.” kata lelaki perlente itu sambil menunjuk sebuah bank yang berdiri megah tak jauh dari situ.

“Ya...ya..saya tunggu.” kata Pak Hamid masih tak percaya.

Menit-menit yang berlalu sungguh menggelisahkan. Benarkah lelaki muda itu hendak membeli plakat-plakat dan berbagai tanda penghargaannya? Atau dia hanya penipu yang menggoda saja? Pak Hamid pasrah.

Tapi nyatanya, lelaki itu kembali juga akhirnya dengan sebuah amplop coklat di tangannya. Pak Hamid menghitung uang dalam amplop, lalu buru-buru membungkus plakat-plakat dan berbagai tanda penghargaan miliknya dengan kantong plastik, seakan-akan takut lelaki muda itu berubah pikiran.

Dipandangnya lelaki muda itu pergi dengan gembira bercampur sedih. Ada yang hilang dari dirinya. Kebanggaan atau mungkin juga harga dirinya. Pak Hamid kini melipat alas dagangannya dan segera beranjak meninggalkan tempat itu, meninggalkan pedagang akik dan kaos kaki yang terbengong-bengong. Entah apa yang mereka pikirkan. Namun, ia tak sempat berfikir soal mereka, pikirannya sendiri pun masih kurang dapat mempercayai apa yang baru saja terjadi.

“Lebih baik pulang jalan kaki saja. Mungkin sepanjang jalan aku bisa menata perasaanku. Sebaik mungkin. Aku tidak ingin istriku melihatku merasa kehilangan plakat-plakat itu. Aku tidak ingin ia melihatku menyesal telah menjualnya. Karena aku ingin anakku sekolah, aku ingin dia sekolah!” Pak Hamid bertutur panjang dalam hati.

Ia melangkah gontai menuju rumah. Separuh hatinya begitu gembira, akhirnya si bungsu dapat sekolah. Tiga setengah juta cukup untuk membiayai uang pangkal dan beberapa bulan SPP. Namun, separuh bagian hatinya yang lain menangis, kehilangan plakat-plakat itu, yang sekian tahun lamanya selalu menjadi kebanggaannya.
Jarak tiga kilometer dan waktu yang terbuang tak dipedulikannya. Sesampainya di rumah, istrinya menyambutnya dengan wajah khawatir.

“Ada apa, Pak? Apa yang terjadi denganmu? Tadi ada lelaki muda yang mencarimu. Dia memberikan bungkusan ini dan sebuah surat. Aku khawatir sampeyan ada masalah.”

Pak Hamid tertegun. Dilihatnya kantong plastik hitam di tangan istrinya. Sepertinya ia mengenali kantong itu. Dibukanya kantong itu dengan terburu-buru. Dan...plakat- plakat itu, tanda penghargaan itu ada di dalamnya! Semuanya! Tak ada yang berkurang satu bijipun! Apa artinya ini? Apakah lelaki itu berubah pikiran? Mungkin ia bermaksud mengembalikan semuanya. Atau mungkin harga yang diberikannya terlalu mahal.
Batin Pak Hamid bergejolak riuh. Segera dibukanya surat yang diangsurkan istrinya ke tangannya. Sehelai kartu nama terselip di dalam surat pendek itu.

"Pak Hamid yang saya cintai,Saya kembalikan plakat-plakat ini. Plakat-plakat ini bukan hanya berarti untuk Bapak, tapi juga buat kami semua, murid-murid Bapak. Kami bangga menjadi murid Bapak. Terima kasih atas semua jasa Bapak."
Suryo, lulusan tahun 76.

Tak ada kata-kata. Hanya derasnya air mata yang membasahi pipi Pak Hamid.

*******
Terima kasih tak terhingga untukmu guru-guruku ustadz2 dan ustadzah2 ku (dosen-dosenku) tercinta..., jasamu sungguh tak ternilai bagi kami..... Semoga pahala terus mengalir kpdamu para guruku, para ustadz wa ustadzah (baik yg msh hidup maupun yg sdh tiada) sampai hari persidangan nanti di padang mahsyar krna engkau telah mengajarkan ilmu yang bermanfaat kpda kami.

Tuesday, November 24, 2015

Mungkin Kita Sudah Lelah....?

Sudah lelahkah wahai kawan atas perjuangan ini..?
mungkin jadwal dakwah yang padat itu membuatmu lemah?

Atau tak pernah punya waktu istirahat di akhir pekan yang kau gusarkan, karena harus terus
BERGERAK berdakwah?

Atau pusingnya fikiranmu mempersiapkan acara2 dakwah yang membuatmu ingin terpejam?

Atau panasnya aspal jalanan saat kau melakukan aksi yang ingin membuatmu “rehat sejenak”?

Atau sulitnya mencari orang yang ingin kau ajak HIJRAH ini yang kau risaukan?

Atau karena seringnya kehidupan sekitar kita meminta infak2mu yang membuatmu ingin menjauh?

Dakwah kita hari ini hanya sebatas ‘itu’ saja kawan.
bukan ingin melemahkan tapi izinkan saya mengajakmu merenung sejenak….

Tahukah engkau wahai kawan, siapa Umar bin Abdul Azis??
Tubuhnya hancur dalam rangka 2
tahun masa memimpinnya...
2 tahun kawan, cuma 2 tahun memimpin tubuhnya yang perkasa bisa rontok, kemudian sakit lalu syahid... Sulit membayangkan sekeras apa sang khalifah bekerja…tapi salah satu pencapainya adalah;
saat itu umat kebingungan siapa yang harus diberi zakat…
tak ada lagi orang miskin yang layak diberi infaq…

Memang seperti itu dakwah. Dakwah adalah cinta.
Dan cinta akan meminta semuanya dari dirimu.
Sampai pikiranmu.
Sampai perhatianmu.
Berjalan, duduk, dan tidurmu.

Tapi Syekh Musthafa Masyhur mengatakan
“Jalan dakwah ini adalah jalan yang panjang tapi adalah jalan yang paling aman untuk mencapai ridho-Nya.”

Ya kawan, jalan ini yang akan menuntun kita kepada ridho-Nya…
saat Allah ridho..
maka apalagi yang kita risaukan?
Saat Allah ridho…semuanya akan jauh lebih indah…karena surga akan mudah kita rasa...,  in syaa Allah.

Rasulullah begitu berat dakwahnya..
harus bertentangan dengan banyak kabilah dari keluarga besarnya..

Mush'ab bin Umair harus rela meninggalkan ibunya...

Suhaib harus rela meninggalkan seluruh yang dia kumpulkan di Mekkah untuk hijrah…

Asma' binti Abu Bakar rela menaiki tebing yang terjal dalam kondisi hamil untuk mengantarkan makanan kepada ayahnya dan Rasulullah

Hanzholah segera menyambut seruan jihad saat bermalam pertama dengan istrinya,

Ka'ab bin Malik menolak dengan tegas suaka Raja Ghassan saat ia dikucilkan…

Bilal, Ammar, keluarga Yasir... mereka kenyang dengan siksaan dari para kafir,

Abu Dzar habis dipukuli karena meneriakkan kalimat tauhid di pasar,

Ali mampu berlari 400 KM guna berhijrah di gurun hanya sendirian,

Utsman rela menginfakkan 3000 unta penuh makanan untuk perang Tabuk,

Abu Bakar meninggalkan keluarganya untuk Allah dan Rasul-Nya

Umar nekat berhijrah secara terang terangan,

Huzaifah berani mengambil tantangan untuk menjadi intel di kandang musuh,

Thalhah siap menjadi pagar hidup Rasul di Uhud, hingga 70 tombak mengenai tubuhnya,

Al Khansa' merelakan anak2nya yang masih muda untuk berjihad,

Nusaibah yang walaupun dia wanita tapi tak takut turun ke medan perang,

Khadijah sang cintanya rasul siap memberikan seluruh harta dan jiwanya untuk islam, siap menenangkan sang suami di kala susah.. benar2 model istri shalihah

Atau mari kita bicara tentang :
πŸ“ŒMusa…mulutnya gagap tapi dakwahnya tak pernah pudar…
ummatnya seburuk-buruknya ummat, tapi proses menyeru tak pernah berhenti…

πŸ“ŒNuh, 950 tahun menyeru hanya mendapat pengikut beberapa orang saja..bahkan
anaknya tak mengimaninya…

πŸ“ŒIbrahim yang dibakar Namrud,

πŸ“Œ Ayub yang menderita sakit berkepanjangan tapi tetap
menyeru…

πŸ“Œ Yunus, berdakwah selama 33th, hanya 2 org yg menyambut seruannya

πŸ“Œ Yahya alayhis salam, yg dibunuh dg cara disembelih oleh kaumnya

πŸ“Œ Zakaria juga digergaji tubuhnya....

πŸ“ŒIsmail yang rela disembelih ayahnya karena ini perintah Allah…

Deretan sejarah di atas adalah SEBAIK-BAIKnya guru dalam kehidupan kita...

Sekarang beranikah kita masih menyombongkan diri bersama jalan dakwah yang kita lakukan saat
ini,
mengatakan lelah padahal belum banyak melakukan apa apa…bahkan terkadang… kita datang menyeru dengan keterpaksaan, berat hati kita, terkadang menolak amanah (untuk menjadi TELADAN).

Kisah Pohon Kurma PEMENANG KEHIDUPAN

"Orang benar akan bertunas seperti pohon korma,.."

Mengapa dikatakan orang benar akan bertunas seperti pohon korma ?

Pohon korma lazim dijumpai di Timur Tengah. Dengan kondisi tanah yang kering, gersang, tandus dan kerap dihantam badai gurun yang dashyat, hanya pohon korma yang bisa bertahan hidup. Pohon korma dianggap sebagai pohon yang tahan banting.

Mengapa bisa demikian kuat di tengah situasi yang sangat tidak bersahabat ?

Kekuatan pohon korma ada di akarnya. Petani menanam biji korma ke dalam pasir, lalu ditutup dengan batu.

Mengapa biji itu harus ditutup batu ? Ternyata, batu tersebut memaksa pohon korma berjuang untuk tumbuh ke atas. Justru karena pertumbuhan batang mengalami hambatan, maka hal tersebut membuat pertumbuhan akar ke dalam tanah menjadi maksimal. Setelah akarnya menjadi kuat, bahkan sampai menembus lapisan tanah yang berair di gurun tandus,  barulah biji pohon korma itu bertumbuh ke atas, bahkan bisa menggulingkan batu yang menekan diatasnya.

Ditekan dari atas, supaya bisa mengakar kuat ke bawah. Bukankah itu prinsip kehidupan yang luar biasa ?

Demikian juga Tuhan kerap mengijinkan tekanan hidup datang dalam hidup kita. Bukan untuk melemahkan dan menghancurkan kita, sebaliknya Tuhan mengijinkan tekanan hidup itu untuk membuat kita berakar makin kuat.
Tak sekedar bertahan, tapi ada waktunya benih yang mengakar kuat itu akan menjebol "Batu Masalah" yang selama ini menekan kita.

Kita keluar menjadi pemenang kehidupan.
Hidup seperti pohon korma, kuat menghadapi tekanan, menang dalam kehidupan dan terus berbuah lebat, bahkan pada masa tua sekalipun.

Tekanan hidup apapun yang anda alami saat ini, ingatlah bahwa anda didesain Tuhan menjadi seperti pohon korma.
Sebab itu, jadilah orang yang tangguh, kuat dan tegar menghadapi beratnya kehidupan.

Milikilah cara pandang positif bahwa tekanan hidup tidak akan pernah bisa
melemahkan, tapi justru akan membuat kita menjadi Pemenang Kehidupan.

Monday, November 23, 2015

KEMBALI DENGAN CINTA
( Oleh : Ust. Hatta Syamsuddin)

Hari ini mendapat berita yang unik sekaligus mengharukan. Seorang politikus, anggota dewan sebuah partai nasionalis meninggal dan dimakamkan dengan diantar mobil layanan PKS. Unik, karena partai tempat sang politikus beraktifitas selama ini juga dikenal mempunyai beberapa mobil layanan sejenis, mengapa tidak digunakan untuk mengantarkan salah satu kader terbaiknya ?. Mengharukan, karena ternyata almarhum berwasiat khusus sebelum meninggal, agar dimakamkan dengan diantar mobil layanan PKS, bukan yang lainnya.

Tentu hal ini menjadikan sebagian pelayat yang hadir mengernyitkan dahi dan bertanya-tanya. Mengingat sejarahnya partai nasionalis tersebut hampir selalu menjadi “lawan politik” PKS dibeberapa kesempatan, dari pemilu, pilpres hingga pilkada. Perbedaan ideologis yang diusung kedua partai tersebut pun kerap menjadikan massa akar rumputnya seolah selalu berhadap-hadapan, baik di dunia nyata, apalagi di dunia maya.

Ternyata kejadian mengharukan diatas bukanlah hal sederhana, kita bisa menjadikannya sebagai inspirasi sekaligus mengambil pelajaran. Kejadian yang bermula dari ‘wasiat’ di atas mengantarkan saya pada kenangan sosok Buya Hamka. Politisi, ulama sekaligus sastrawan muslim ini ternyata beberapa kali juga mendapatkan wasiat yang serupa dari musuh-musuh politiknya.

Yang pertama adalah Bung Karno, yang saat itu memaksakan ideologi nasakomnya, Buya Hamka turut menjadi korban. Beliau dipenjarakan oleh pemerintahan orde lama sepanjang 2 tahun 4 bulan dengan tuduhan subversif. Bukan itu saja, bahkan karya-karyanya juga ditarik dari peredaran. Buya Hamka menggunakan waktunya di tahanan untuk menyelesaikan kitab Tafsir Al Azhar yang monumental.

Roda zaman berputar. Hamka bebas dari penjara sementara Bung Karno kehilangan kekuasaannya, mulai diasingkan dan jatuh sakit-sakitan. Lama tak ada komunikasi antara keduanya. Hingga pada Juni 1970 Bung Karno menyampaikan pesan ke Buya Hamka melalui Mayjen Soeryo sang ajudan, yang berbunyi “Bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam shalat jenazahku..”. Pesan itu diterima Buya Hamka bersamaan dengan wafatnya Bung Karno. Maka ia segera berangkat untuk melihat jenazah Bung Karno dan kemudian menjadi imam sholat jenazahnya. Beberapa pelayat yang hadir tak kuasa menahan air mata menyaksikan momentum mengharukan tersebut. Permusuhan dan kebencian ada batasnya.

Sosok lain yang tak kalah keras pertentangannya dengan Buya Hamka adalah Muhammad Yamin. Meskipun sama-sama berasal dari Sumatera Barat, namun diantara keduanya terjadi pertentangan dalam masalah ideologi perjuangan. Pertentangan ini kerap muncul dan meledak dalam sidang-sidang Majlis Konstutiante. Buya Hamka yang berasal dari Masyumi kokoh dan teguh memperjuangkan Islam sebagai dasar bernegara, sementara Muhammad Yamin dari PNI adalah seorang nasionalis yang cenderung sekuler. Kebenciannya kepada Buya Hamka begitu terasa dan diketahui banyak orang karena diulang-ulang oleh Muhammad Yamin dalam berbagai kesempatan berbicara dan berpidato.

Tapi kebencian dan permusuhan itu ada batasnya. Tahun 1962 Muhammad Yamin jatuh sakit dan dirawat di RSPAD selama beberapa hari terus bertambah parah, hingga kemudian menyuruh Chairul Shaleh untuk menyampaikan pesannya kepada Buya Hamka. Pesan itu berisi “"Bila saya wafat, tolong Hamka bersedia menemani di saat-saat akhir hidupku dan ikut mengantar jenazahku ke kampung halamanku di Talawi" . Chaerul Saleh juga menambahkan bahwa, Yamin khawatir, masyarakat Talawi, Sumatera Barat, tempatnya berasal, tidak berkenan menerima jenazahnya

Mendengar hal tersebut, Hamka segera menemui Yamin yang tergolek lemah. Takdir Allah indah menggoreskan Hamka menemani Yamin disaat-saat akhirnya, dengan kedua tangan berjabat erat, bahkan Hamka masih sempat melantunkan Al Fatihah dan kalimat tauhid dengan lembut di telinga Yamin. Hamka pun menunaikan janji dengan mengantarkan Yamin ke tempat peristirahatannya terakhir di Talawi.

Dua kejadian di atas menggoreskan pertanyaan dalam hati ? Hal apakah yang kiranya menggerakkan hati yang lama berjauhan bahkan bermusuhan untuk bersatu mendekat penuh harap ? Saya tidak melihat kecuali keistiqomah, kejujuran dan ketulusan Buya Hamka dalam memperjuangkan dan mengamalkan syariat Islam – lah yang menjadikan hati-hati yang dulu begitu membenci, memusuhi dan menentang, dalam akhir hidupnya harus mengakui dengan jujur bahwa Hamka dengan ideologi Islamnya lah yang layak menjadi teman menuju peristirahan terakhir.

Hari-hari ini begitu banyak para pembenci dan penentang dakwah Islam, memusuhi tanpa henti siang dan malam, baik dengan tusukan jari jemari di dunia maya maupun lirikan sinis yang terpendam saat berpapasan. Jika para aktifis dakwah bisa mencontoh Buya Hamka yang terus istiqomah dengan ketulusan, kejujuran, dalam memperjuangkan apa yang diyakininya, maka insya Allah benih-benih permusuhan itu tidak akan abadi. Tanpa perlu harus menunggu di ujung usia, bisa jadi cinta akan menggantikan kebencian.

Sebagaimana Pramodya Ananta Toer yang sudah kenyang memusuhi Hamka pada masa "Prahara Budaya" di orde lama. Ternyata saat akan menikahkan putrinya dengan seorang pria tionghoa non muslim, ia meminta calon menantu untuk masuk Islam dan belajar Islam terlebih dahulu pada Buya Hamka. Ketika ditanya mengapa ia melakukan hal tersebut, dengan tegas Pramudya menyampaikan "Saya lebih mantap mengirim calon menantuku untuk diislamkan dan belajar agama pada Hamka, meski kami berbeda paham politik".

Sama dengan kisah Pramudya, saya sering mendengar testimoni tentang beberapa tokoh partai nasionalis di suatu daerah, dimana mereka dengan rela dan bangga berbondong-bondong menyekolahkan putra-putrinya di sekolah Islam yang dikelola oleh para aktifis dakwah. Dalam hal pendidikan terbaik, mereka mempercayakan tarbiyah Islam sebagai solusi.

Maka kebencian dan permusuhan itu pastilah akan tergerus dengan keistiqomahan dan ketulusan para aktifis dakwah, dan berganti dengan cinta. Sebuah cinta terhadap ajaran yang fitrah, yang jika tidak saat ini maka diujung masa akan banyak jiwa-jiwa yang kembali mendekat.

Sayup-sayup terdengar senandung di masa lalu :
“ Cinta kan membawamu … kembali di sini . menuai rindu, membasuh perih”

Tuesday, November 17, 2015

😊 Ingin istrimu awet muda?

By: Ust Cahyadi Takariawan

Suatu pagi, tiga orang
perempuan, Dewi, Nia  dan  Dina, tengah berbincang di ruang imajiner saya.

Dewi : “Wah, kamu tampak
awet muda dan ceria, Nia. Apa rahasianya?”

Nia : “Biasa sih. Aku rajin ke
salon kecantikan dan melakukan perawatan tubuh di sana. Itu sebabnya aku selalu tampak awet muda”.

Dewi : “Kalau kamu. Dina? Apa rahasia kamu selalu tampak awet muda?”

Dina : “Gampang kok. Tiap hari aku dipeluk suamiku 12 kali. Ini yang membuatku awet muda”.

Ya.  Ada Banyak Cara Awet Muda.

Sejak dari yang membayar mahal sampai yang murah.

Pelukan suami kepada isteri, dan sebaliknya, tidak bisa digantikan oleh apapun dan oleh
siapapun. Benar-benar spesial, dan tak tergantikan oleh kecanggihan teknologi.
Dan hanya boleh dilakukan oleh pasangan yang sah.

Saling memeluk menimbulkan perasaan
nyaman, karena yang memeluk adalah pasangan yang sah.

Jika berpelukan dengan selingkuhan akan menimbulkan perasaan
tidak nyaman karena takut
ketahuan. Juga menimbulkan perasaan bersalah serta berdosa
karena mengkhianati pasangan.


πŸ’–Bagaimana Pelukan Mampu Membuat Awet Muda?


Saat berpelukan, tubuh
melepaskan hormon oxytocin yang berkaitan dengan rasa damai dan cinta. Hormon ini
membuat jantung dan pikiran menjadi tenang dan sehat.
Itulah sebabnya, pelukan diyakini dapat menambah angka harapan hidup pasangan anda.
Satu pelukan, bisa meningkatkan angka harapan hidup satu hari
bagi pasangan anda.

Setiap kali anda memeluk
pasangan dengan penuh
ketulusan dan kasih sayang, bertambahlah angka harapan hidupnya, karena bertambah rasa bahagia dan kesehatan
jiwanya. Penambahan angka harapan hidup ini akan tampak pada penampilannya yang awet
muda. Semakin sering dipeluk, semakin tambah awet muda.

Jadi kalau ada istri yang tampak lelah dan tampak cepat tua, lebih tua dari usia sebenarnya, mungkin karena jarang dipeluk
suaminya.
Jika suami jarang memeluk istri, suasana jiwa istri
menjadi ‘lapar perasaan’. Ada tuntutan jiwa yang ingin dipeluk, dibelai dan dielus, namun tidak terpenuhi. Tidak ada hormon oxytocin yang diproduksi dalam tubuh istri sehingga merasa kurang perhatian dan kurang bahagia.

Para Suami Sering Seringlah Memeluk Istrimu.

Pelukan itu bukan saja gratis, namun juga berpahala dan sangat menyenangkan hati istri.
Itulah yang membuat istri awet muda secara gratis.

πŸ’›πŸ’™πŸ’œπŸ’š❤πŸ’—πŸ’–

Tuesday, November 10, 2015

Ayah.... Aku Lelah - Islampos -

“AYAH, ayah” kata Sang Anak.

“Ada apa?” tanya Sang Ayah.

“Aku lelah, sangat lelah. Aku lelah karena aku belajar mati matian untuk mendapat nilai bagus sedangkan temanku bisa dapat nilai bagus dengan menyontek, aku mau menyontek saja! Aku lelah, sangat lelah.

Aku lelah karena aku harus terus membantu ibu membersihkan rumah, sedang temanku punya pembantu, aku ingin kita punya pembantu saja! Aku lelah, sangat lelah.

Aku lelah karena aku harus menabung, sedang temanku bisa terus jajan tanpa harus menabung, aku ingin jajan terus!

Aku lelah karena aku harus menjaga lisanku untuk tidak menyakiti, sedang temanku enak saja berbicara sampai aku sakit hati.

Aku lelah karena aku harus menjaga sikapku untuk menghormati teman-temanku, sedangkan teman-temanku seenaknya saja bersikap kepada ku.

Aku lelah Ayah, aku lelah menahan diri. Aku ingin seperti mereka. Mereka terlihat senang, aku ingin bersikap seperti mereka ayah !!” sang anak mulai menangis.

Sang Ayah hanya tersenyum dan mengelus kepala anaknya sambil berkata ”Anakku ayo ikut Ayah, Ayah akan menunjukkan sesuatu kepadamu”, lalu sang ayah menarik tangan sang anak.

Mereka menyusuri sebuah jalan yang sangat jelek, banyak duri, serangga, lumpur, dan ilalang. Sang anak mulai mengeluh ”Ayah mau kemana kita?? aku tidak suka jalan ini, lihat sepatuku jadi kotor, kakiku luka karena tertusuk duri. Badanku dikelilingi oleh serangga, berjalanpun susah  karena banyak ilalang, aku benci jalan ini ayah” sang ayah hanya diam.

Sampai akhirnya mereka sampai pada sebuah telaga yang sangat indah, airnya sangat segar, ada banyak kupu-kupu, bunga-bunga yang cantik, dan pepohonan yang rindang.

“Wwaaaah… tempat apa ini ayah? aku  suka! aku suka tempat ini!” sang ayah hanya diam kemudian duduk di bawah pohon yang rindang beralaskan rerumputan hijau.

“Kemarilah anakku, ayo duduk di samping ayah” ujar sang ayah, lalu sang anak pun ikut duduk di samping ayahnya.

” Anakku, tahukah kau mengapa di sini begitu sepi? Padahal tempat ini begitu indah,” ayah mulai brtanya.
” Tidak tahu ayah, memangnya kenapa?,” tanya sang anak.
” Itu karena orang-orang tidak mau menyusuri jalan yang jelek tadi, padahal mereka tahu ada telaga di sini, tetapi mereka tidak bisa bersabar dalam menyusuri jalan itu,” sang ayah menjelaskan.
” Ooh… berarti kita orang yang sabar ya?,”
”Nah, akhirnya kau mengerti”
”Mengerti apa? aku tidak mengerti”
” Anakku, butuh kesabaran dalam belajar, butuh kesabaran dalam bersikap baik, butuh kesabaran dalam kujujuran, butuh kesabaran dalam setiap kebaikan agar kita mendapat kemenangan, seperti jalan yang tadi. Bukankah kau harus sabar saat ada duri melukai kakimu, kau harus sabar saat lumpur mengotori sepatumu, kau harus sabar melawati ilalang dan kau pun harus sabar saat dikelilingi serangga, dan akhirnya semuanya terbayar kan? Ada telaga yang sangat indah. Seandainya kau tidak sabar, apa yang kau dapat? Kau tidak akan mendapat apa apa anakku, oleh karena itu bersabarlah anakku”

” Tapi ayah, tidak mudah untuk bersabar ” rengek sang anak.
” Ayah tau, oleh karena itu ada ayah yang menggenggam tanganmu agar kau tetap kuat. Begitu pula hidup, ada ayah dan ibu yang akan terus berada di sampingmu agar saat kau jatuh, kami bisa mengangkatmu. Tapi, ingatlah anakku, ayah dan ibu tidak selamanya bisa mengangkatmu saat kau jatuh, suatu saat nanti, kau harus bisa berdiri sendiri. Maka jangan pernah kau gantungkan hidupmu pada orang lain, jadilah dirimu sendiri, jadilah seorang yang kuat, yang tetap tabah dan istiqomah karena tahu ada Allah di sampingnya. Maka kau akan dapati dirimu tetap berjalan menyusuri kehidupan saat yang lain memutuskan untuk berhenti dan pulang. Kau tau akhirnya kan?” jelas sang ayah lagi.

” Ya ayah, aku tau, aku akan dapat surga yang indah yang lebih indah dari telaga ini. Sekarang aku mengerti. Terima kasih ayah , aku akan tegar saat yang lain terlempar. ”

Sang ayah tersenyum sambil menatap wajah anak kesayangannya. [ns/islampos/fb]